Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2020

Pena

Pena menari Otak terus memutar Akulah tinta usang Goresanku tak lagi berarti Jerih yang kian payah Raga yang terpapah Jiwa yang kian sayah Cita yang kian melemah Setumpuk kertas ku selami Lembaran yang tak kunjung usai Menyiksa setiap barisan waktu Tertatih, pincang jalannya Jalan belum ujung Persimpangan masih jauh Tali ini masih saja terikat Ia mencekik yang terjerat Jejakku tersapu angin kemarau Panas, pedih, sendu Memekik dalam kehausan Terhenti dalam kesempatan Akulah pena usang Terlupakan, Tak lagi jadi andalan Tempat pulang ketika kehabisan Yang hilang dalam gurauan                                                             Kamal, 23 Januari 2020

Hilang Arah

Angin tak lagi berhembus Kompas ini tak lagi berfungsi Aku pohon yang layu Daunku yang gugur, tubuhku yang tak lagi kokoh Mataku yang buta tertutup kabut Matahari tak pernah menyapa Akarku kini tak lagi kuat Ia tak lagi menjalar dan berusaha lari Gulita ini selalu bergerilya Bayanganku tak lagi setia Dia menghilang saat keterpurukan ku Sunyi selalu menyelinap dalam diam Pelita itu tak lagi datang Dia lenyap di telan malam Fajar tak lagi menyongsong Dia kabur dalam dekapnmu Matamu yang indah selalu menggangguku Alismu yang mempesona selalu terbayang Bibirmu yang ranum selalu terasa lembut di ingatan Mereka selalu hadir dalam mimpiku Semua tersimpan rapi dalam ingatan Terpatri dalam kenangan indah Entah kapan bisa terulang lagi Mungkin nanti, atau tidak lagi Aku sampan di lautan luas Terombang-ambing dalam samudra ingatan Tubuhku terkoyak oleh ombak kenyataan Kurindukan kau, pelabuhanku Hidup di ujung maut Mau di ujung tanduk Semangat ku mati Harapku...

Badai di Ambang Pintu

Aku rasa badai itu Sudah menampakan hidungnya dan bersiap membawa apapun yang di lewatinya. Kemarau berkepanjangan akan mewabah dan doa doa suci tak mampu menghentikannya Akan ada rumah tanpa penghuni dan di tinggal pemiliknyo Dan untaian janji itu Kini putus berserakan di lantai Semua terlupakan dan tak berarti Yah begitulah manusia Peltim, 29 Oktober 2019

Tinggal

Sunyi itu menjelma menjadi belati Ia menyayat jiwa jiwa yang sunyi Darahnya berkucuran Tubuhnya di cincang rindu Dentengan jam terus memecah malam Jarum itu menghujani tiap detik Ia terkekang, ada suara yang terbungkam Persuaan itu tak juga datang Ikan-ikan itu terus menari Mereka menghibur diri Dunianya yang luas Kini telah terbatas Dua mata itu kini berkaca-kaca Seperti sebuah putung rokok Yang ditinggal begitu saja Mengingat pun sudah bukan haknya Kehadirannya tak lagi di harapkan Dadanya sesak, oksigenpun enggan dihirupnya Jejaknya terhapuskan Bayanganpun tersingkirkan Bak palung laut, namanya terkubur Inginnya hanya menjadi angan Sekarang atau nanti, sama saja Semua tlah terbaca                          abysiana caveh, 31 Desember 2019

Minggu Kelabu

Lagu di putar, cangkir menari-nari Gadis-gadis di kursi itu terus larut Suasana hati yang seirama dengan lagu itu Mendayu dalam kehineningan malam Cerita cerita kelam yang terus mengepul Seiring dengan menguapnya secangkir teh hangat Lembah kehidupan telah mereka lalui Tanjakan cobaan telah mereka daki Gadis-gadis kuat itu terus berkisah Tentang diri yang terbiasa sendiri Kemandirian telah menyatu dalam jiwanya Hatinya baja, tertutup anggun sikapnya Hati yang mengucap, rasa yang bersuara Hari-hari yang terlewat penuh canda tawa Kelabu itu kini tinggal cerita Air matanya tak lagi menetes Tersenyumlah, dunia ini hanya lelucon Semua yang terlewat, biarkan begitu Simpanlah, simpan dalam memorimu Tapi jangan jadikan penghalang langkamu                        Caveh Abbisiana, 29 Desember 2019

(rindu) Titik Temu

Padhange rembulan ing wengi iki Rikala bulan sunar dadar.i Agawe lingseme ati kang nandang branta Dadya ndrada ing jroning ati Saben wanci, ing pikir amung kelingan Abot.e rasa mring kusumaning tyas Minangka prasetya tak antepke rasaku Mung kanggo siro memaniking ati Lintang kemukus tansah anyekseni Nandang lewung tan bisa mari Nderek kersaning Gusti Netra tan bisa merem Ati tan durung marem Yen durung kasembadan Sumunar.e lampu kapal Amung agawe apal Kabeh amung kasimpen Jroning batin Peltim, 26 Desember 2019

Pelabuhan Renta

Pelabuhan tua Umurnya yang semakin senja Tubuhnya yang terlalu renta Masih menanggung derita Ia bertahan dalam kesakitan Penyakit itu selalu memakan Sekeranjang ikan yang selalu didambakan Mata sayup, nafas ter'engal Tak lagi jadi hal janggal Pandangannya kini samar Airnya yang selalu tercemar Kapal itu terlalu angkuh Dia sandar ketika butuh Diluar itu, sunyi selalu menyusuh Dia menari-nari di pelabuhan yang trenyuh Apakah ini kehendak Tuhan? Yang di harapkan tak pernah bertahan Hal yang tua yang menyedihkan Beribu pertanyaan tak pernah terjawabkan Pelabuhan itu kini merenung Harapannya tak pernah terkurung Batinya mengaung Laranya selalu menbusung                                          Kamal, 14 Desember 2019

Lamis

Lingsir e rembulan Nglingsirke penggalih Ajur mumur nengeri kang luntur Kapitayan ugo kawelasan Kang wus mabur Rino kalawan wengi Amung lamis ing lathi Sathi ing pamuji Kabeh kui do malathi Wong nandur bakal ngunduh Wong salah bakal seleh Alang rintang bakal kok temoni Nderek kersane Gusti Duh Sang Hyang Agung Tentremono kang sinandung Peltim, 19 November 2019

Pelabuhan Tua

Kupandangi langit, Awan biru kelabu Bulanpun sudah lelah berjalan, Perjalanan ini tak juga usai, Garis hidup masih saja tegang Mataku sudah lelah menatap, Kaki ini segan melangkah Langit menggelap, Gelombang ombak semakin samar Lampu lampu itu makin redup terlihat Kapal kapal itupun terus terombang-ambing ketidakpastian Perjalanananku belum berakhir Deburan ombak yang setia menemani Lepaskan, jika sudah tidak mau beriringan Biarkan, jika sudah tidak dengarkan Pergilah, jjka sudah tidak di butuhkan Terbanglah mengikuti angin di pelabuhan ini Mungkin sudah seprti itu hukum alam Layaknya pelabuhan tua ini yang terus di tinggalkan. Waktu terus berlari semakin cepat, Dan "massa" itu akan segera datang Peltim, 11 November 2019

Ngerontone Batin

Sore kang wis teko Ngusir rino kang kepanasan Angin kang sumilir, ngilir.i jroning batin Penggalih kang bingung Ngrasakno kang nandang lewung Mega kang tumlawung Rasane wong nandang Wuyung Duh yayi, memaniking ati Ngertenono, ati iki keronto-ronto  Telang, 8 November 2019

Kopi Sendu

Aku masih ingat aroma itu Aroma yang selalu ku rindukan Dalam pagi dan malam Aroma yang menyiksa bagi penikmatnya Kopi itu tertuang di sebuah obrolan sendu Ia bercerita tentang rasa dan cita Tentang apa yang tak bisa di ungkapkan Tentang tujuan yang tak tersampaikan Isak tangis itu masih saja terdengar Malam makin sedih di buatnya Cita itu pupus sudah Namun rasa itu abadi Asapnya yang mengepul bercerita tentang hari ini Hari yang lelah dan memaksa Ia seperti di hujam jutaan panah Cibiran itu mencincang jiwanya Kandang kopi 3, 2 November 2019

Sang Kuda

Kuda kuda itu di tarik talinya Semakin kencang, semakin kencang Dia terus diburu, Diburu sebuah pecut nan ganas dan sadis Ia terus berlari, semakin kencang Sampai membusuknya beling kaca di lautan Ia terus berlari, tanpa lelah Meski keluh selalu tercurah Keringatnya jatuh dan terus mengalir Tangisnya tak lagi terdengar Rumputnya pun tak lagi terasa Ia terus berlari dan terus terpacu Tik tak tik tak tik tak Sepatu itu terhantam aspal yang panas Jalanan berliku dan penuh lubang Hingga jalan lurus namun curam Jeritan kuda itu kini terdengar riang Kegirangan berkumpul saudaranya Jerih payahnya terbayar sudah Melihat saudaranya lolos dari kesusahan Dhamar coffe, 31 Oktober 2019

Penghujung Jalan

Langkahku kini terhenti Angin tak lagi nenunjukan jalan Matahari tak lagi nenunjukan arah Dan janji tak lagi di tepati Sore telah beradu, Harapan telah menjadi kenangan Dan angan tak jadi kenyataan Dunia seisinya sudah bersaksi Dan kala itu, dan kala itu Itu yang kala kala kau lupakan Menunggu malam datang, Kakiku yang berat tuk melangkah Namun ringan untuk putar badan Dan berjalan pulang ke arah berlawanan Hingga ku menghilang Terbawa angin laut malam ini Mungkin sebentar lagi akan ada sedikit tawa Namun bisa juga banyak duka,. Semua terlalu tunduk pada asmara Dan jika nanti, sore datang kembali Akan banyak rasa sesal yang terus terjadi Sebentar lagi akan terdengar sebuah suara Suara yang berat dan tak punya pilihan lain Suara yang keluar karena sebuah bualan busuk Suara yang tak mau di keluarkan. "Selamat Tinggal", bunyi suara itu gili timur, 28 Oktober 2019

Pudar

Sekumpulan awan itu mulai hilang Embun pagi tak lagi basah Daun daun itu berguguran Bunga yang merekah kini layu sudah Air air mulai terjatuh dari singgasananya Air yang selalu menanti Air yang berbicara ketulusan Air yang berbicara kesungguhan Air mata... Surga itu kini hanya bayang bayang semu Memudar seiring langkah kaki menapak Jejak-jejak itu kini terhapus Di sapu angin pengingkaran Sesuatu itu kini saling berdesakan Ia mencari jalan keluar Ingin terbebas dan memprotes sang waktu Ia teraniya, ia tertindas Sesuatu yang tak bisa di ungkapkan Sesuatu yang selalu menagih Sesuatu yang selalu berharap Sesuatu yang selalu berpangku Ia menjerit, dan semua hal itu pudar begitu saja Perjuangannya kini musnah tak berbekas Semua darah keringat kini telah mengering dan terhempas terbawa panah Panah dari dewa amor yang selalu menguji Panah yang membawa asmara Panah yang membawa sebuah kebohongan dan pengingkaran Pengingkaran pada diri sendiri... Kandang kopi 3,...

Moksa

Mendung itu makin menghitam Petir itu semakin nyaring gemuruhnya Angin-angin terus berputar Musim itu tak lagi datang Bunga bunga itu terus berguguran Merintih, menangis, menjerit mekarnya sudah tidak lagi di harapkan Harumnya pun tak lagi semerbak Kumbang berbondong-bondong mengungsi Ia membawa seluruh janji dan bakti Semua sirna tak tersisa Tanah itu kini tandus Kunang-kunang tak lagi terlihat Ia sembunyi dari sang malam Malam tak lagi ramah, Malam tak lagi mesra Ia merintih dalam genangan Genangan yang terlalu panas Rintihannya membawa duka Senyumnya kini di paksakan Petaka itu mungkin akan datang Ia selalu menghantui Ia siap menerkam kapan saja Langkahnya semakin gontai, Kakinya menyeret terhambat nanah kehidupan Wdk, 22 Oktober 2019

Nyanyian Sunyi Seekor Jangkrik

Sunyi sudah datang Kabut-kabut menampakkan batang hidungnya Dan nyanyian itu masih saja merdu terdengar Lagu lagu tentang kerinduan Ia selalu menunggu Seberkas cahaya kelam tentang hari kemarin Melesat datang bersama kenangan Menghujani mimpinya Ia tak pernah menyalahkan keadaan Ia kehilangan, lumbuk bermain Ia kehilangan, sebuah massa Massa yang seharusnya paling membahagiakan Jangkrik itu terus bernyanyi Menghibur para orang-orang yang merindu Menemani orang yang menanti Ia tak peduli, meski ribuan hujatan yang ia terima Semangatnya terus berkobar Meski duka selalu mengikutinya Ia terus-menerus dikejar kenangan Kenangan yang siap membunuh kapan saja Ia tak pernah menyalahkan takdir Ia hanya berjalan sebisanya Dan bernyanyi dan terus bernyanyi Nyanyian sunyi Kandang, 19 Oktober 2019

Malam

Tentang malam Malam yang selalu hadir Malam yang selau di nanti Malam yang tak pernah di rindukan Kehadirannya yang selalu membawa kisah Bukan Mahabarata Bukan Ramayana Ini tentang insan Malam yang selau di rasa Malam yang membawa air Air mata Malam yang selalu memanggil Hingga nama itu tak lekang oleh malam malam Ia tak pernah mati Ia selalu hidup Hidup di nyala api Kobarannya terlalu dahsyat Malam semakin larut Malam terus berguling Ia menggilas apapun yang ia lewati Ia tak punya hati Ia berteriak Ia memberontak Ia tak pernah lelah Ia terus membara Baranya bak bara api abbabil Cahayanya seindah kunang kunang Panasnya tak terukur Geraknya secepat kilat malam ini Matanya setajam elang. Ia terus mengincar Ambisinya tak terbendung Ialah malam, malam malam yang terus bergulir Shelter 17 oktober 2019

Balada Secangkir Kopi

Malam semakin larut Kopi tertuang Rokok mengebul layaknya awan yang clinton Dan gelak tawa itu semakin ramai terdengar Malam malam yang ia lewati Terasa semakin sunyi Iya, dia sedang merindukan sebuah nyanyian Nyayian penghantar tidur Ia merindukan sosok itu. Seseorang yang selalu menghibur ketika jatuh dari sepeda dulu Ia merindukan guru itu Seseorang yang mengajarkan ia belajar berjalan Nyanyian itu terus berputar di kepalanya Ia meringkuk, ia menangis Ia merindukan semua hal yang tak mungkin terulang Kopi hitam itu hanya menambah pahitnya hidup Hitamnya yang pekat, sepekat masa lalunya Hingga semutpun tak mau mampir Kopi itu terlalu hina untuk di jamah. Kopi itu hanya di berteman dengan orang orang yang merindu Merindu akan suatu hal Merindu karena masa lalu Merindu tentang yang tak bisa kembali Ia meronta ingin menumpahkan Tapi kopi itu terlalu pekat Dia tak bisa bergerak sedikitpun Seperti kaki tangannya terikat. Tapi kopi itu tetap memliki aroma ...

Kebisingan Malam

Kebisingan Menuju malam yang semakin larut Suara gelak tawa kerumunan itu semakin kencang terdengar Ada meja yang penuh canda, ada meja yang penuh duka Semua memiliki kisah tersendiri Suara gelas berdentang, melambangkan banyak arti Kopi tertuang, sebuah inspirasi menyapa Sebuah kemelud yang berkepanjangan Sekilas mirip dengan kopi yang ia sruput malam ini Hitam pekat seperti kisahnya, pahit sepahit jalan hidupnya Semua sibuk dengan dunianya Iya, dunia yang mereka geluti Dunia aktivis, akdemis atau hanya kupu-kupu belaka Semua memiliki kisah, kisah yang selamanya ia bawa dalam kenangan Goresan waktu terus mengikis kenangan itu Hanya ingatan yang akan mengabadikan Bagi dia yang selalu terngiang dalam mimpi Malam selalu menanti matahari Ia merindu sebuah pertemuan Namun takkan pernah bersua Pertemuan yang selalu ia idamkan Hanya tinggal angan Hingga sang pemilik waktu yang akan mengatur pertemuan mereka Ia meronta untuk bertemu Namun sang fajar yang selalu mun...

Basuhlah

Basuhlah tanganmu itu, Tanganmu terlalu kotor oleh ego dan ambisimu Otak dan hatimu ikut terkontaminasi olehnya Basuhlah jiwamu itu, jiwa rindu akan ketulusan dan kebersamaan Kembalilah ke fitri, bak seorang bayi yang baru lahir dan melihat dunia Namun Jangan genggamkan tanganmu, seakan ingin kau kuasai dunia ini Seruputlah dulu kopimu, otakmu kurang sentuhan minuman yang pekat itu Biar yang pekat hanya kopi malam ini, bukan ambisimu, bukan keadaanmu. Apalagi pikiranmu.. Jernihlah, sejernih embun di fajar hari ini.

Sajak sang waktu

Waktu Waktu hal yang tak terlihat namun terasakan Waktu hal yang tersepelekan namun berarti Waktu hal yang begitu singkat, amat singkat namun memberatkan Sang waktu teralu cepat bergerak Ia terus berlari, selalu mengejar Ia seperti sang elang yang siap menerkam Menerkam seluruh kenangan dan apa yang di lewatinya Ia begitu kejam, menyita seluruh usaha yang tak sempat terbalas Semua hal terlewat begitu saja Dan kenangan itu, hilang juga di telan olehnya Waktu, Waktu semua menjadi impian Hingga menjadi kenangan Waktu semua menyatu Hingga semua berpisah di jalan masing-masing Waktu yang mempertemukan Dan waktu pula yang memisahkan Waktu yang bertanya Waktu pula yang menjawab Semua tentang waktu Tanggungjawab yang berat Hingga pupusnya sebuah harapan Waktu yang mengecewakan, dan waktu yang membanggakan Peltim 13 Oktober 2019 2:31 AM